Presiden Soeharto hidup dengan memegang falsafah Jawa.
Dia selalu merenungi nasihat-nasihat yang kemudian dijadikannya prinsip hidup.
Diresapinya kalimat-kalimat yang mengandung arti kebajikan dan pesan itu.
Dari
ayah tirinya Atmopawiro, Soeharto mempelajari spiritual. Soeharto selalu puasa Senin Kamis dan tidur di
tritisan atau di bawah ujung atap di luar rumah.
"Pada
masa itu saya ditempa mengenal dan menyerap budi pekerti dan filsafah hidup
yang berlaku di lingkungan saya. Mengenal agama dan tata cara hidup Jawa,"
kata Soehartodalam
biografi 'Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya' yang ditulis G
Dwipayana dan Ramadhan KH. Dari pamannya seorang mantri pertanian bernama
Prawirodiharjo, Soeharto mempelajari hidup sebagai petani yang
harus selaras dengan alam. Prinsip-prinsip hidup semasa kecil terus diamalkan Soeharto hingga dia menjadi pejabat. Akhirnya, Soeharto yang anak seorang petugas irigasi,
bisa menjadi presiden kedua Republik Indonesia. Selama 32 tahun, Soeharto memimpin Indonesia dengan pro dan
kontra.
Apa
saja prinsip hidup Soeharto yang menjadikannya sukses?
Aja
kagetan, aja gumunan dan aja dumeh
Pada
masa kecil di bawah bimbingan ayah tirinya Atmopawiro, Soeharto mulai mengenal falsafah Jawa. Saat itu
pula Soeharto mengenal ajaran tiga 'aja'. Aja
kagetan, aja gumunan dan aja dumeh.
Artinya
kira-kira jangan kagetan, jangan heran dan jangan mentang-mentang. Hal ini
diresapi betul oleh Soeharto.
"Ini
kelak jadi penegak diri saya dalam menghadapi soal-soal yang bisa
mengguncangkan diri saya," kata Soeharto.
Inti
ajaran ini bermaksud untuk menanamkan sikap sabar, tenang, dan tidak sombong.
Bila orang ingin berhasil dalam kehidupan bermasyarakat, keyakinan pada diri
sendiri harus dipupuk dan dibina. Jangan sombong saat sedang diamanahi jabatan
tertentu.
Hormat
kalawan gusti, guru, ratu lan wong atuwa karo
Prinsip
hidup 'Hormat kalawan gusti, guru, ratu lan wong atuwa karo' selalu dipegangSoeharto sepanjang hidupnya. Artinya hormat
pada tuhan, guru, pemerintah dan kedua orang tua.?
Ratu
di sini dipakai sebagai lambang pemerintahan dan negara. Hal ini mengandung
pengertian bahwa manusia di negaranya tidak mengabdi pada perorangan, melainkan
pada nusa dan bangsa.
Sedangkan
wong atuwa karo artinya tidak hanya kedua orangtua kandung. Pada mertua dan
saudara tua pun harus berbakti.
"Sampai
jadi presiden saya merasa tidak berubah dalam hal ini. Saya junjung tinggi
ajaran ini dan saya percaya akan kebenarannya," kata Soeharto.
Sa-Sa-Sa
Sa-sa-sa
atau 'tiga sa' ini juga merupakan salah satu falsafah hidup Soeharto.
Sabar Atine, Saleh Pikolahe, Sareh Tumindake. Artinya kira-kira selalu sabar,
selalu saleh dan taat beragama, dan selalu bersikap bijaksana.
Soeharto belajar agama sejak kecil. Ketika
tinggal di Wiryantoro bersama pamannya yang bernama Prawirodiharjo, Soeharto belajar mengaji di langgar (musala
kecil) dekat rumah. Suasana rumah pamannya yang religius juga menjadi bekal
kehidupan rohani Soeharto.
Soeharto juga dekat dengan ilmu kebatinan. Tapi
menurutnya ilmu kebatinan berbeda dengan klenik. Ilmu kebatinan adalah untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan.?
"Sesuai
dengan peninggalan nenek moyang kita. Ilmu kebatinan itu adalah untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan. Mendekatkan batin kita kepada-Nya. Orang
kadang-kadang salah kaprah, mengira ilmu kebatinan itu ilmu klenik," kata Soeharto.
Mikul
dhuwur mendhem jero
Mikul
dhuwur mendhem jero artinya menjunjung tinggi-tinggi, membenam dalam-dalam.
Peribahasa ini mengajarkan cara anak berbakti pada orang tuanya. Seorang anak
harus menjaga benar-benar nama baik orang tua, serta jasa-jasanya pada negara.
Harus dijaga dan jangan sampai menodainya.
Sebaliknya
jika ada kesalahan orangtua, anak tak perlu mengungkit-ungkitnya. Lebih elok
jika dimaafkan. Anak juga harus memperlakukan orang tua dengan baik semasa
hidup dan ketika sudah meninggal.
Soeharto pun mengajarkan prinsip Mikul dhuwur
mendhem jero ini pada enam anaknya.
Sugih
tanpa bandha
Pepatah
ini lengkapnya berbunyi Sugih tanpa bandha, nglurug tanpa bala, digdaya tanpa
aji dan menang tanpa ngasorake. Artinya kaya tanpa kekayaan, menyerbu tanpa
bala tentara, kuat perkasa tapi ajian, menang tanpa ada yang merasa dikalahkan.
Sugih
tanpa bandha juga berarti segala perbuatan manusia didasarkan atas keikhlasan
batin tanpa pamrih. Nglurug tanpa bala bisa diartikan merasa diri berharga
bukan karena ditakuti, disegani melainkan karena kemampuan untuk setia pada apa
yang kita yakini.
Digdaya
tanpa aji, menang tanpa ngasorake berarti seseorang menjadi perkasa, menjadi
pemenang, menjadi raja bukan karena punya kesaktian atau kekuatan tempur luar
biasa. Tetapi memiliki kemampuan untuk memelihara ketentraman dan kedamaian
hidup.
artikel terkait :
0 komentar:
Posting Komentar