Setelah penyidik mengetahui bahwa suatu tindak pidana yang dilaporkan telah
daluwarsa, maka tim penyidik; demi hukum, wajib menghentikan penyidikan dan
menutup kasus tersebut.
Di dalam Hukum Pidana, dikenal adanya keadaan "hapusnya" kewenangan
melakukan proses pidana dan penuntutan pidana bagi para penegak hukum (verval
van het recht tot strafvordering en van de straf).
Salah satu alasan untuk hapusnya kewenangan penegak hukum untuk memproses
pidana seseorang adalah yang dikenal dengan istilah: daluwarsa (baca:
"Hukum Pidana: karya pakar hukum pidana terkemuka Jan Remmelink). Dalam
bahasa Belanda: Daluwarsa disebut "Verjaring", atau verjaring
stermijn (jatuh tempo).
Dan daluwarsa ini diberlakukan baik dalam Hukum Perdata maupun dalam Hukum
Pidana. Dalam Hukum Pidana, daluwarsa berarti kewenangan penegak hukum
memproses hukum suatu dugaan tindak pidana menjadi hilang, karena lewatnya
tenggang waktu tertentu. Di dalam kawasan Mahkamah Konstitusi pun, lembaga
"daluwarsa" itu digunakan. Contohnya ketika Mahkamah Konstitusi
menolak suatu gugatan judicial review karena dianggap sudah daluwarsa.
Menurut Prof MR A Pitlo (dalam bukunya: Bewijs en Verjaring naar her
Netherlands Burgelijk Wetboek) landasan filsafat hukumnya, mengapa ada lembaga
daluwarsa dalam hukum, baik Hukum Perdata maupun Hukum Pidana adalah antara
lain: "Hukum pada hakikatnya bersifat menyesuaikan diri untuk menerima
keadaan yang ada.
Setelah jangka waktu yang lama, hukum menyingkir terhadap suatu keadaan yang
nyata, yang tidak dipersoalkan selama tenggang-waktu tertentu; tidak peduli
apakah tidak dipersoalkannya karena tindak pidana tersebut belum diketahui
hingga lewat waktu tertentu, ataupun karena tidak ada yang mengadukan dugaan
terjadinya tindak pidana hingga lewatnya waktu tertentu.
Di dalam Hukum Pidana Indonesia, ketentuan tentang daluwarsa ditentukan dalam
pasal 78 KUH Pidana yang bunyinya:
(1) Kewenangan memproses pidana hapus karena daluwarsa; 1. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan
sesudah satu tahun; 2. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau
pidana penjara paling lama tiga tahun, daluwarsanya setelah enam tahun. 3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun
, daluwarsanya setelah dua belas tahun. 4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, daluwarsanya setelah delapan belas tahun. (2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan, usianya belum delapan belas
tahun, masing-masing tenggang waktu untuk daluwarsa di atas, dikurangi menjadi
sepertiga. Pasal 78 KUH Pidana itu diperkuat oleh yurisprudensi (putusan HR 3 Februari 1936)
yang inti putusannya: Wewenang memproses pidana adalah wewenang negara untuk
bertindak terhadap pelaku secara pidana, tanpa peduli alat negara manakah yang
melakukannya. Begitu suatu tenggang waktu menurut undang-undang berlaku, maka daluwarsa
menggugurkan wewenang untuk memproses hukum terhadap pelaku, baik tenggang
waktu itu berlaku sebelum perkara dimulai ataupun selama berlangsungnya
tenggang waktu daluwarsa berada dalam stadium, bahwa alat penegak hukum tidak
dapat lagi melakukan proses hukum. Kapan mulai terhitungnya tenggang waktu untuk daluwarsanya suatu tindak pidana?
Menurut pasal 79 KUH Pidana, terhitung sejak tindak pidana itu dilakukan.
Kecuali untuk tindak pidana pemalsuan mata uang, dan untuk tindak pidana yang
secara tegas (tidak boleh dianalogikan) dalam pasal-pasal 328, 329, 330 dan
333, serta untuk pelanggaran pasal 556 KUH Pidana. Dengan kata lain, kecuali ketiga jenis tindak pidana yang dikecualikan itu,
maka semua tindak pidana, berlaku ketentuan daluwarsa Pasal 78 dan awal pasal
79 bahwa daluwarsa terhitung sejak tindak pidana itu dilakukan. Contohnya, jika tindak pidana pembunuhan (pasal 338 kalau pembunuhan biasa dan
pasal 340 kalau pembunuhan berencana, terhitung satu hari setelah pelaku
membunuh, demikian juga contohnya; kalau tindak pidana pemalsuan surat,
misalnya pemalsuan ijazah, maka terhitung sejak satu hari setelah ijazah palsu
(yang ditentukan pasal 263 KUH Pidana) yang isinya: (1)Setiap orang yang membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk
menggunakannya atau menyuruh orang lain menggunakan surat tersebut seolah-olah
isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika penggunaannya tersebut dapat
menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan ancaman pidana paling lama
enam tahun. (2) Diancam dengan pidana yang sama, setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika penggunaan
surat itu dapat menimbulkan kerugian. Dengan demikian, jika tindak pidananya pemerkosaan, perhitungan daluwarsa
dihitung sejak saat pemerkosaan (pasal 285 KUH Pidana) dilakukan pelaku; kalau
mengenai tindak pidana pencurian (pasal 362 KUH Pidana), maka terhitung sejak
pelaku melakukan pencurian itu. Demikian juga untuk tindak pidana pemalsuan surat, termasuk ijazah tentunya
(pasal 263 KUH Pidana), perhitungan daluwarsa terhitung sejak ijazah palsu itu
mulai dibuat; bukan sejak ijazah palsu itu mulai digunakan. Jadi contohnya dalam tindak pidana pemalsuan ijazah, ijazah palsunya dibuat
pada tahun 1990, maka daluwarsa jatuh pada 1990 tambah 12 (dua belas tahun)
menjadi 2002. Artinya sejak tahun 2002, kasus tersebut tidak berwenang lagi
diproses oleh penegak hukum. Setelah penyidik mengetahui bahwa suatu tindak pidana yang dilaporkan telah
daluwarsa, maka tim penyidik; demi hukum, wajib menghentikan penyidikan dan
menutup kasus tersebut. Apa konsekuensinya jika setelah daluwarsa, penegak hukum tetap memproses
perkara itu dan tidak segera menghentikannya? Konsekuensi pertama, berarti
penegak hukumnya melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
Konsekuensi kedua, penegak hukum dapat diadukan telah melakukan pelanggaran HAM
tersangka, yang demi hukum, berhak diterapkannya ketentuan mengenai daluwarsa
terhadap dirinya. Ketentuan tentang daluwarsa ini memang jarang diketahui oleh masyarakat awam
hukum maupun sebagian kalangan hukum, dan oleh karena itu menjadi kewajiban
saya sebagai ilmuwan hukum untuk mensosialisasikannya kepada masyarakat luas
dan kalangan penegak hukum. Penegak hukum harus melaksanakan ketentuan perundang-undangan tanpa di bawah
tekanan opini publik, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh James Fenimore
Cooper: "It is besetting vice of democracies to substitute public opinion
for law. This is the usual form in which masses of men exhibit their tyranny. Artinya merupakan kepungan sifat buruk (euforia yang kebablasan) tentang
demokrasi, untuk menggantikan hukum dengan opini publik (atau tekanan demo
massa yang sifatnya politis). Ini adalah wujud yang umum, di mana orang
menunjukkan tirani pemaksaan mereka. (**)
0 komentar:
Posting Komentar