Labels

Kamis, 07 Februari 2013

PARA ISTERI PRESIDEN INDONESIA (edisi Abdurrahman Wahid / Gus Dur)


ABDURRAHMAN WAHID
Masa Bakti (20 Oktober1999 - 23 Juli 2001)


Sinta Nuriyah Wahid Lahir di Jombang, 8 Maret 1948 mendapat gelar First Lady (Ibu Negara) ke-4 bersuamikan KH Abdurrahman Wahid. Menikah pada tanggal 11 September 1971, dikaruniai empat anak yaitu: Alissa Qotrunnada Munawaroh (Lissa), Zannuba Arifah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus (Nita), Inayah Wulandari (Ina).

Pendidikan terakhir Program S-2 Studi Kajian Wanita, Universitas Indonesia, Depok
Ibu Negara ke-4 ini sudah sangat terbiasa menghadapi perilaku suami yang kontroversial. Maka, ia pun tak terlalu merasa kaget ketika MPR RI tahun 1999 mengangkat suaminya, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi Presiden ke-4 RI. Ia juga tak perlu merasa kehilangan ketika oleh lembaga dan anggota yang sama, MPR di tahun 2001 menurunkan suaminya dari kursi kepresidenan. 

Sebelum suaminya belum menjadi apa-apa, lalu menjabat Ketua Umum PBNU (1984-1999), menjadi Presiden, dan kembali menjadi anggota masyarakat biasa, tepatnya sebagai tokoh pejuang demokrasi, perdamaian dan multikulturalisme di sebuah negara yang justru sangat pluralistik, Sinta Nuriyah tetaplah sama. Ia tidak pernah berubah. Termasuk ketika suami yang sedang menjabat Presiden, itu diisukan melakukan perselingkuhan dengan seorang wanita Sinta Nuriyah Wahid tetap tegar sebagai istri yang percaya akan kebaikan suami.
Menolak poligami
Dra Sinta Nuriyah Wahid, M.Hum kelahiran Jombang 8 Maret 1948, itu tetap setia mendampingi Gus Dur yang penglihatannya semakin menurun sehingga harus dituntun oleh putrinya Yenny. Walau pendampingan itu sendiri harus ia lakukan dari kursi roda. Ia membutuhkan alat bantu itu setelah mengalami kecelakaan mobil pada tahun 1993, pada saat ia justru sedang memasuki semester kedua program studi S-2 Studi Kajian Wanita, di Universitas Indonesia, Depok. Keinginan kuat Sinta untuk memberikan yang terbaik bagi bangsanya tetap tidak berubah kendati sudah hidup di luar Istana. Ia memilih jalur pemberdayaan perempuan sebagai ikon perjuangan baru. 
Maka itu ketika berlangsung Muktamar PBNU tahun 2004 ia dengan lantang menolak menu makanan yang disajikan oleh sebuah jaringan restoran waralaba, sebab pemiliknya dikenal luas sebagai penganut poligami. Sikap tegas Sinta itu segera menyadarkan pemikiran banyak orang tentang telah munculnya sebuah dobrakan baru, yang bermaksud mengubah persepsi lama pemikiran kaum lelaki mengenai perempuan. Ia memang tidak main-main dalam perjuangannya. Jauh sebelumnya, pada 3 Juli 2000 Sinta telah mendirikan sebuah lembaga Yayasan PUAN AMAL HAYATI. PUAN, yang diartikan Sinta sebagai “Pesantren Untuk Pemberdayaan Perempuan”. 
Yayasan itu baru resmi beroperasi sejak Maret 2001. Ada alasan unik mengapa Sinta menundanya. Ia menghindari kemungkinan timbulnya persepsi buruk di masyarakat, sebab tidak mau dikatakan memanfaatkan kedudukan Ibu Negara untuk mendirikan Yayasan. Karena itu ada uang atau tidak Yayasan akan tetap jalan. Tetapi paling tidak pasti akan ada uang dari honor KH Abdurrahman Wahid, sang suami untuk membiayainya. 
Sinta yang sudah dilamar oleh Gus Dur sebagai istri saat masih berumur 13 tahun, namun baru diwujudkan kemudian pada pernikahan 11 September 1971, itu memastikan tidak ada campur tangan lembaga dan orang-orang Kepresidenan ketika mendirikan Yayasan. Kecuali sumbangan nama “Amal” dari Alwi Shihab yang ketika itu menjabat Menteri Luar Negeri, yang lalu ditimpali oleh Presiden Gus Dur dengan nama “Hayati”. Sedangkan kata PUAN sudah disediakan Sinta sebagai ikon perjuangannya lewat Yayasan. 
Kaji Ulang Kitab Kuning
Sinta bukan hanya lantang menyuarakan penolakan kehidupan poligami. Ia sekaligus menerobos dan memperbaiki persepsi para kiyai tentang perempuan, yang selama ini selalu saja menggunakan paradigma lama berpegang pada Kitab Kuning sebagai pedoman. Isi Kitab Kuning menurut Sinta sesungguhnya tidaklah sepenuhnya sesuai dengan isi al-Quran. Sinta mengatakan isi Kitab berisi relasi suami istri yang menggambarkan kedudukan istri sangat terpuruk. Di situ, disebutkan kedudukan seorang istri ibarat tawanan perang sang majikan (suami) di dalam rumah tangga. 
Isi Kitab Kuning kata Sinta berbeda dengan ide kesetaraan gender. Karena itulah keseteraan gender tak akan bergaung di lingkungan pesantren sebab kiyai-kiyai masih tetap beranggapan lama sesuai dengan isi Kitab, dimana kedudukan istri digambarkan sebagai seorang budak di hadapan suami, atau seperti seorang yang menanggung hutang dengan suaminya. Kata Sinta, ada juga yang mengatakan seorang istri sekalipun menjilati nanah di muka suami, kalau suaminya itu tidak ridho maka tidak akan berarti apa-apa. 
Hal itu membuat Sinta merasa ganjil, apakah memang benar Islam mengajarkan hal itu. Karena Sinta merasa itu tidak benar maka ia mengkaji ulang isi Kitab Kuning, dan ternyata hadits-hadits seperti itu adalah hadits-hadits palsu. Sinta harus mengkaji ulang Kitab Kuning setelah sebelumnya berhasil membuat tesis, berjudul “Perkawinan Usia Muda dan Kesehatan Reproduksi” dengan mengambil responden dari kalangan pesantren dan non pesantren.
Sinta menyarankan pihak-pihak yang berpendapat bahwa poligami boleh, itu sebaiknya mengkaji al-Qur’an lebih dalam, saksama, teliti, dan semua aspek mesti dikaji lagi. Sebab, menerjemahkan al-Qur’an tidak terbatas pada lingkup yang tekstual tapi juga kontekstual. Termasuk mencakup kajian asbâb al-nuzûl (sebab diturunkannya) dan melihat bahasanya. 
Secara tekstual ayat poligami memang berbunyi, “fankihû mâ thâba lakum min al-nisâ’ matsnâ wa tsulâtsa wa rubâ’…”, (nikahilah dua atau tiga atau empat perempuan yang baik menurutmu). Ayat ini kata Sinta jangan dipotong sampai di situ saja, sebagaimana umumnya orang banyak memotong hanya hingga penggalan ayat tersebut. Sebab masih ada sambungan yang sering dilupakan yakni, “Fain khiftum allâ ta’dilû fawâhidah” (sekiranya kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawini satu perempuan saja). 
Masalahnya, kata Sinta, keadilan itu dilihat dari sudut mana dan ukuran siapa. Al-Qur’an memiliki dua padanan kosakata untuk kata keadilan yaitu qashata dan ‘adala. Qashata sering dipakai untuk pengertian “keadilan yang bersifat materil”. Sementara ‘adala untuk “keadilan yang bersifat immateril termasuk cinta, kasih sayang, perhatian dan lain sebagainya.” Nah, dalam ayat tadi al-Qur’an menggunakan kosakata ‘adala. 
Jadi yang dituntut dalam ayat, yang justru sering dijadikan justifikasi teologis poligami, adalah keadilan yang bersifat immateril. Maka jika sudah bicara keadilan immateril itu dipastkan tidak bisa diwujudkan melalui poligami. Dalam al-Qur’an, masih dalam surat Al-Nisâ’, disebutkan, “Falâ tashtathî’u ‘an ta’dilû baina al-nisâ’ walau haratstum” (engkau tidak akan mampu berbuat adil atas perempuan meski engkau berusaha keras untuk itu). Jadi keadilan tidak akan mungkin terwujud melalui praktik-praktik poligami.
Sinta menyatakan bahwa poligami secara eksplisit tidak diperkenankan menurut al-Qur’an. Ia juga menyebut banyak hadits Nabi Saw yang tidak membolehkan poligami. Sebagai contoh, ketika Ali ra minta izin untuk menikahi Juwairiyyah Rasulullah langsung menolak. Dia tidak mengizinkan karena Fatimah (istri Ali, anak Rasulullah) adalah bagian dari Nabi. Nabi itu tegas-tegas mengatakan sampai tiga kali tidak mengizinkan. Itu tentu berarti poligami tidak diperkenankan.
Kalaupun ada pandangan populer bahwa poligami adalah bagian dari ajaran Islam, Sinta memastikan pandangan itu salah dan kesalahan terjadi karena ayat al-Qur’an diartikan secara tektual seperti halnya membaca secara letterlijk, dan ditambah lagi ada kepentingan laki-laki (male-biased) di dalamnya. Maka akibatnya adalah muncul pandangan populer yang salah, jadi bukan dilalah-nya (maksud utama) yang ditonjolkan.
Sinta menyebutkan salah satu tujuan Allah mengutus Nabi adalah untuk membebaskan kaum perempuan dari belenggu-belenggu yang mengikat. Setelah belenggu mulai terbuka dan teratasi, Nabi wafat, sayangnya muncul kembali keinginan laki-laki untuk menguasai perempuan. Sinta mencontohkan adanya hadits yang menyebutkan, bahwa malaikat akan melaknat perempuan semalam suntuk bila menolak “ajakan” suaminya. Menurut Sinta hadits ini justeru menunjukkan kelemahan laki-laki sebab tidak berani kepada perempuan. Untuk melakukan hubungan seksual saja laki-laki harus meminta bantuan laknat malaikat.
Tak Terhalang Keterbatasan Fisik
Ibu dari empat orang putri Alissa Qotrunnada Munawaroh (Lissa), Zannuba Arifah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus (Nita), dan Inayah Wulandari (Ina), ini tergolong aktivis organisasi. Ia adalah anggota Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang merupakan federsi berbagai organsiasi wanita di Indonesia, juga anggota Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (National Commission on the Status of Women). 
Bersama organisasi-organisasi lain, sebelum mendirikan Yayasan PUAN Sinta sudah aktif memperjuangkan kepentingan-kepentingan perempuan. Hanya saja ia tidak mengerti betul apa yang menjadi tujuan perjuangan organisasi tersebut. Ia pun merasa sesungguhnya tidaklah tertarik untuk terjun ke dalam perjuangan perempuan. 
Perubahan besar baru dapat dialaminya setelah mengkaji Kitab Kuning tadi, lalu iapun mendirikan Yayasan PUAN Amal Hayati. Di Yayasan ini Sinta mulai sangat mengerti betul, dan sekaligus ingin berjuang membela kepentingan perempuan baik perempuan yang berada di dalam maupun di luar rumah tangga yang sama-sama banyak mendapat ketidakadilan.
Keterbatasan gerak fisik akibat kecelakaan tak menghambat munculnya ide-ide segar dari Sinta Nuriyah. Kegigihannya berjuang menempatkan wanita Indonesia pada posisi yang terhormat justru makin mencuat setelah secara fisik ia tidak dapat berbuat apa-apa. Padahal tugas rutin mendampingi seorang tokoh yang sangat dan selalu kontroversial, Gus Dur, itu tak kurang rumitnya. Kecelakaan mobil tahun 1993 memang membuat Sinta harus berada di kursi roda. 
Ia mengalami kelumpuhan tak dapat menggerakkan bagian tubuh dari leher hingga kaki. Ia membutuhkan waktu satu setengah tahun perawatan untuk dapat dikatakan sembuh, walau harus tetap menggunakan alat bantu kursi roda. Tentang kelanjutan kuliahnya di UI Sinta pernah meminta pihak kampus agar memberikan kelonggaran dengan menyediakan ruang kuliah khusus baginya, yang dapat dijangkau kursi roda seperti di lantai bawah. Namun permintaan itu tak dapat dipenenuhi dan Sinta harus kuliah di lantai empat. 
Maka ketika sudah semester empat Sinta yang bertekad menyelesaikan kuliah dengan rendah hati sadar, ialah yang membutuhkan belajar bukan pihak kampus. Iapun bersedia kuliah di lantai empat. Tapi apa mau dikata lift kampus kemudian rusak. Tapi Sinta tak mau kehilangan akal. Ia kemudian memasuki ruang kuliah layaknya Jenderal Sudirman saat berjuang melawan penjajah, yakni digotong di atas tandu dinaik-turunkan dari bawah ke lantai empat dan sebaliknya. Kejadian seperti itu berlangsung satu semester penuh menunggu hingga liftnya selesai diperbaiki. 
Bersuamikan Pria Romantis
Sinta sangat sadar ia bersuamikan seorang pria yang sangat kontroversial. Karena kontroversial itu banyak yang suka dan banyak pula yang tak suka terhadap suaminya. Gus Dur ketika menjabat Presiden banyak disanjung-sanjung hingga diberi gelar sebagai “Bapak Bangsa”. Namun serta-merta Sinta menolak jika disebut pula sebagai “Ibu Negara”. Sinta beralasan, yang namanya “Ibu Bangsa” tidak selalu harus pasangan dari “Bapak Bangsa”. Sebab bisa saja istri dari “Bapak Bangsa” kadang-kadang berpendidikan rendah sehingga tidak layak disebut “Ibu Bangsa”. 
Walau menolak disebut “Ibu Bangsa” Sinta Nuriyah sangatlah berperan besar menunjang karir dan kesuksesan Gus Dur di kancah politik nasional. Ia berprinsip sederhana, seorang istri kalau bisa menciptakan ketenangan dalam rumahtangga berarti suami akan tenang. Jika di luaran Gus Dur banyak memainkan jurus-jurus ‘silat’ perpolitikan nasional, di rumah Sinta menawarkan tema pembicaraan keluar dari politik untuk masuk ke hal yang ringan-ringan. 
Namun jika Gus Dur yang, kata Sinta ia tergolong pria romantis, itu memasuki pembicaraan area politik maka Sinta yang menguasai aktif bahasa Inggris, Arab, dan Perancis tetap mau meladeni dan mampu pula menanggapinya.
Sinta pun menjadi bisa memahami segala kegiatan Gus Dur. Diskusi adalah cara yang jitu bagi Sinta untuk bisa mengerti tentang Gus Dur. Setiap muncul ide-ide Gus Dur yang mendapat sorotan luas dari amsyarakat maka Sinta akan mencoba memahami, atau paling tidak keduanya berdiskusi dulu. Diskusi seolah telah menjadi ‘menu’ pengganti keromantisan Gus Dur, yang menjadi semakin sibuk sejak terpilih menjadi Ketua Umum PBNU. Jika Gus Dur ‘sibuk’ sendiri maka Sinta sebagai ibu yang baik akan tetap telaten mendidik anak-anak dan memelihara keharmonisan rumahtangga. 
Sinta kerapkali memperlakukan Gus Dur sebagai teman yang baik, sebagaimana pernah ia tuangkan dalam tulisan “Sehari Bersama Abdurrahman Wahid”. Itu, adalah sebuah artikel reportase hasil ‘investigasi’ Sinta saat mengikuti keseharian kegiatan Gus Dur kemanapun suaminya pergi. Sinta, selain aktivis organisasi ternyata pernah pula berprofesi sebagai wartawan, yakni pada tahun 1980-1985 di Majalah “Zaman”. Profesi itu harus berhenti karena majalahnya ditutup, Sinta lalu sempat bekerja untuk Sybah Asa (Tempo).
Hidup diijinkan Sinta mengalir begitu saja tanpa harus dipersiapkan menjadi ini atau menjadi itu. What ever wil be, will be, kata Sinta. Prinsip what ever will be semakin ketika ia ‘harus’ menjadi “First Lady” Indonesia, sesuatu yang sesungguhnya tidak pernah ada dalam kamus dan skenario hidup Sinta. Maka itu ketika Gus Dur diminta mundur tahun 2001 Sinta dan keluarga tak perlu berkecil hati. Ia malah menganjurkan Gus Dur agar secepatnya saja mundur. Ia dan anak-anak tak harus shock atau down, karena sejak sebelum menjadi Presiden pun mereka sudah terbiasa akan kontroversialitas Gus Dur. 
Apalagi, Gus Dur yang diminta menjadi Presiden maka ketika diminta tidak lagi menjadi Presiden pun menjadi tidak apa-apa pula. Sinta sudah menyerahkan hidup secara total ke dalam perlindungan Tuhan. Maka tak heran jika Sinta yang gemar membaca, sehingga kerapkali dikirimi buku ‘silat asli’ dari Cina oleh Gusdur sampai kecanduan, itu sesekali masih mau turun ke jalan berdemonstrasi sebagaimana kebiasaannya saat menentang pemerintahan Soeharto.
Sinta sangat percaya akan suaminya. Karena itulah isu perselingkuhan yang dituduhkan pada Gus Dur yang disertai dengan bukti-bukti otentik segala, itu tak membuat Sinta goyah. Ia tetap percaya, memahami, hingga mengagumi suami. Sebagai tokoh kontroverisial Sinta paham banyak yang ingin menjatuhkan suaminya. 
Salah satunya menggunakan perempuan, untuk mengusung isu perselingkuhan yang ternyata tidak terbukti kebenarannya. Tanpa selingkuh pun, kata Sinta, sudah banyak orang yang menawari suaminya kawin lagi. Orang itu sekaligus menyodorkan anaknya segala, atau siapanya kepada Gus Dur sebab katanya untuk ngalap berkah.


Baca Juga :

0 komentar:

Posting Komentar