ABDURRAHMAN
WAHID
Masa Bakti (20 Oktober1999 - 23 Juli 2001)
Sinta Nuriyah Wahid Lahir di Jombang, 8 Maret 1948 mendapat gelar First
Lady (Ibu Negara) ke-4 bersuamikan KH Abdurrahman Wahid. Menikah pada tanggal
11 September 1971, dikaruniai empat anak yaitu: Alissa Qotrunnada Munawaroh
(Lissa), Zannuba Arifah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus (Nita), Inayah
Wulandari (Ina).
Pendidikan terakhir Program S-2 Studi Kajian Wanita, Universitas Indonesia,
Depok
Ibu Negara ke-4 ini sudah sangat terbiasa menghadapi perilaku suami yang
kontroversial. Maka, ia pun tak terlalu merasa kaget ketika MPR RI tahun 1999
mengangkat suaminya, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi Presiden ke-4 RI.
Ia juga tak perlu merasa kehilangan ketika oleh lembaga dan anggota yang sama,
MPR di tahun 2001 menurunkan suaminya dari kursi kepresidenan.
Sebelum suaminya belum menjadi apa-apa, lalu menjabat Ketua Umum PBNU
(1984-1999), menjadi Presiden, dan kembali menjadi anggota masyarakat biasa,
tepatnya sebagai tokoh pejuang demokrasi, perdamaian dan multikulturalisme di
sebuah negara yang justru sangat pluralistik, Sinta Nuriyah tetaplah sama. Ia
tidak pernah berubah. Termasuk ketika suami yang sedang menjabat Presiden, itu
diisukan melakukan perselingkuhan dengan seorang wanita Sinta Nuriyah Wahid
tetap tegar sebagai istri yang percaya akan kebaikan suami.
Menolak poligami
Dra Sinta Nuriyah Wahid, M.Hum kelahiran Jombang 8 Maret 1948, itu tetap
setia mendampingi Gus Dur yang penglihatannya semakin menurun sehingga harus
dituntun oleh putrinya Yenny. Walau pendampingan itu sendiri harus ia lakukan
dari kursi roda. Ia membutuhkan alat bantu itu setelah mengalami kecelakaan
mobil pada tahun 1993, pada saat ia justru sedang memasuki semester kedua
program studi S-2 Studi Kajian Wanita, di Universitas Indonesia, Depok.
Keinginan kuat Sinta untuk memberikan yang terbaik bagi bangsanya tetap tidak
berubah kendati sudah hidup di luar Istana. Ia memilih jalur pemberdayaan
perempuan sebagai ikon perjuangan baru.
Maka itu ketika berlangsung Muktamar PBNU tahun 2004 ia dengan lantang
menolak menu makanan yang disajikan oleh sebuah jaringan restoran waralaba,
sebab pemiliknya dikenal luas sebagai penganut poligami. Sikap tegas Sinta itu
segera menyadarkan pemikiran banyak orang tentang telah munculnya sebuah
dobrakan baru, yang bermaksud mengubah persepsi lama pemikiran kaum lelaki
mengenai perempuan. Ia memang tidak main-main dalam perjuangannya. Jauh
sebelumnya, pada 3 Juli 2000 Sinta telah mendirikan sebuah lembaga Yayasan PUAN
AMAL HAYATI. PUAN, yang diartikan Sinta sebagai “Pesantren Untuk Pemberdayaan
Perempuan”.
Yayasan itu baru resmi beroperasi sejak Maret 2001. Ada alasan unik mengapa
Sinta menundanya. Ia menghindari kemungkinan timbulnya persepsi buruk di
masyarakat, sebab tidak mau dikatakan memanfaatkan kedudukan Ibu Negara untuk
mendirikan Yayasan. Karena itu ada uang atau tidak Yayasan akan tetap jalan.
Tetapi paling tidak pasti akan ada uang dari honor KH Abdurrahman Wahid, sang
suami untuk membiayainya.
Sinta yang sudah dilamar oleh Gus Dur sebagai istri saat masih berumur 13
tahun, namun baru diwujudkan kemudian pada pernikahan 11 September 1971, itu
memastikan tidak ada campur tangan lembaga dan orang-orang Kepresidenan ketika
mendirikan Yayasan. Kecuali sumbangan nama “Amal” dari Alwi Shihab yang ketika
itu menjabat Menteri Luar Negeri, yang lalu ditimpali oleh Presiden Gus Dur
dengan nama “Hayati”. Sedangkan kata PUAN sudah disediakan Sinta sebagai ikon
perjuangannya lewat Yayasan.
Kaji Ulang Kitab
Kuning
Sinta bukan hanya lantang menyuarakan penolakan kehidupan poligami. Ia
sekaligus menerobos dan memperbaiki persepsi para kiyai tentang perempuan, yang
selama ini selalu saja menggunakan paradigma lama berpegang pada Kitab Kuning
sebagai pedoman. Isi Kitab Kuning menurut Sinta sesungguhnya tidaklah
sepenuhnya sesuai dengan isi al-Quran. Sinta mengatakan isi Kitab berisi relasi
suami istri yang menggambarkan kedudukan istri sangat terpuruk. Di situ, disebutkan
kedudukan seorang istri ibarat tawanan perang sang majikan (suami) di dalam
rumah tangga.
Isi Kitab Kuning kata Sinta berbeda dengan ide kesetaraan gender. Karena
itulah keseteraan gender tak akan bergaung di lingkungan pesantren sebab
kiyai-kiyai masih tetap beranggapan lama sesuai dengan isi Kitab, dimana
kedudukan istri digambarkan sebagai seorang budak di hadapan suami, atau
seperti seorang yang menanggung hutang dengan suaminya. Kata Sinta, ada juga
yang mengatakan seorang istri sekalipun menjilati nanah di muka suami, kalau
suaminya itu tidak ridho maka tidak akan berarti apa-apa.
Hal itu membuat Sinta merasa ganjil, apakah memang benar Islam mengajarkan
hal itu. Karena Sinta merasa itu tidak benar maka ia mengkaji ulang isi Kitab
Kuning, dan ternyata hadits-hadits seperti itu adalah hadits-hadits palsu.
Sinta harus mengkaji ulang Kitab Kuning setelah sebelumnya berhasil membuat
tesis, berjudul “Perkawinan Usia Muda dan Kesehatan Reproduksi” dengan
mengambil responden dari kalangan pesantren dan non pesantren.
Sinta menyarankan pihak-pihak yang berpendapat bahwa poligami boleh, itu
sebaiknya mengkaji al-Qur’an lebih dalam, saksama, teliti, dan semua aspek
mesti dikaji lagi. Sebab, menerjemahkan al-Qur’an tidak terbatas pada lingkup
yang tekstual tapi juga kontekstual. Termasuk mencakup kajian asbâb al-nuzûl
(sebab diturunkannya) dan melihat bahasanya.
Secara tekstual ayat poligami memang berbunyi, “fankihû mâ thâba lakum min
al-nisâ’ matsnâ wa tsulâtsa wa rubâ’…”, (nikahilah dua atau tiga atau empat
perempuan yang baik menurutmu). Ayat ini kata Sinta jangan dipotong sampai di
situ saja, sebagaimana umumnya orang banyak memotong hanya hingga penggalan
ayat tersebut. Sebab masih ada sambungan yang sering dilupakan yakni, “Fain
khiftum allâ ta’dilû fawâhidah” (sekiranya kamu khawatir tidak dapat berlaku
adil, maka kawini satu perempuan saja).
Masalahnya, kata Sinta, keadilan itu dilihat dari sudut mana dan ukuran
siapa. Al-Qur’an memiliki dua padanan kosakata untuk kata keadilan yaitu
qashata dan ‘adala. Qashata sering dipakai untuk pengertian “keadilan yang
bersifat materil”. Sementara ‘adala untuk “keadilan yang bersifat immateril
termasuk cinta, kasih sayang, perhatian dan lain sebagainya.” Nah, dalam ayat
tadi al-Qur’an menggunakan kosakata ‘adala.
Jadi yang dituntut dalam ayat, yang justru sering dijadikan justifikasi
teologis poligami, adalah keadilan yang bersifat immateril. Maka jika sudah
bicara keadilan immateril itu dipastkan tidak bisa diwujudkan melalui poligami.
Dalam al-Qur’an, masih dalam surat Al-Nisâ’, disebutkan, “Falâ tashtathî’u ‘an
ta’dilû baina al-nisâ’ walau haratstum” (engkau tidak akan mampu berbuat adil
atas perempuan meski engkau berusaha keras untuk itu). Jadi keadilan tidak akan
mungkin terwujud melalui praktik-praktik poligami.
Sinta menyatakan bahwa poligami secara eksplisit tidak diperkenankan
menurut al-Qur’an. Ia juga menyebut banyak hadits Nabi Saw yang tidak
membolehkan poligami. Sebagai contoh, ketika Ali ra minta izin untuk menikahi
Juwairiyyah Rasulullah langsung menolak. Dia tidak mengizinkan karena Fatimah
(istri Ali, anak Rasulullah) adalah bagian dari Nabi. Nabi itu tegas-tegas
mengatakan sampai tiga kali tidak mengizinkan. Itu tentu berarti poligami tidak
diperkenankan.
Kalaupun ada pandangan populer bahwa poligami adalah bagian dari ajaran
Islam, Sinta memastikan pandangan itu salah dan kesalahan terjadi karena ayat
al-Qur’an diartikan secara tektual seperti halnya membaca secara letterlijk,
dan ditambah lagi ada kepentingan laki-laki (male-biased) di dalamnya. Maka
akibatnya adalah muncul pandangan populer yang salah, jadi bukan dilalah-nya (maksud
utama) yang ditonjolkan.
Sinta menyebutkan salah satu tujuan Allah mengutus Nabi adalah untuk
membebaskan kaum perempuan dari belenggu-belenggu yang mengikat. Setelah
belenggu mulai terbuka dan teratasi, Nabi wafat, sayangnya muncul kembali
keinginan laki-laki untuk menguasai perempuan. Sinta mencontohkan adanya hadits
yang menyebutkan, bahwa malaikat akan melaknat perempuan semalam suntuk bila
menolak “ajakan” suaminya. Menurut Sinta hadits ini justeru menunjukkan
kelemahan laki-laki sebab tidak berani kepada perempuan. Untuk melakukan
hubungan seksual saja laki-laki harus meminta bantuan laknat malaikat.
Tak Terhalang
Keterbatasan Fisik
Ibu dari empat orang putri Alissa Qotrunnada Munawaroh (Lissa), Zannuba
Arifah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus (Nita), dan Inayah Wulandari (Ina),
ini tergolong aktivis organisasi. Ia adalah anggota Kongres Wanita Indonesia
(Kowani) yang merupakan federsi berbagai organsiasi wanita di Indonesia, juga
anggota Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (National Commission on the
Status of Women).
Bersama organisasi-organisasi lain, sebelum mendirikan Yayasan PUAN Sinta
sudah aktif memperjuangkan kepentingan-kepentingan perempuan. Hanya saja ia
tidak mengerti betul apa yang menjadi tujuan perjuangan organisasi tersebut. Ia
pun merasa sesungguhnya tidaklah tertarik untuk terjun ke dalam perjuangan
perempuan.
Perubahan besar baru dapat dialaminya setelah mengkaji Kitab Kuning tadi,
lalu iapun mendirikan Yayasan PUAN Amal Hayati. Di Yayasan ini Sinta mulai
sangat mengerti betul, dan sekaligus ingin berjuang membela kepentingan
perempuan baik perempuan yang berada di dalam maupun di luar rumah tangga yang
sama-sama banyak mendapat ketidakadilan.
Keterbatasan gerak fisik akibat kecelakaan tak menghambat munculnya ide-ide
segar dari Sinta Nuriyah. Kegigihannya berjuang menempatkan wanita Indonesia
pada posisi yang terhormat justru makin mencuat setelah secara fisik ia tidak dapat
berbuat apa-apa. Padahal tugas rutin mendampingi seorang tokoh yang sangat dan
selalu kontroversial, Gus Dur, itu tak kurang rumitnya. Kecelakaan mobil tahun
1993 memang membuat Sinta harus berada di kursi roda.
Ia mengalami kelumpuhan tak dapat menggerakkan bagian tubuh dari leher
hingga kaki. Ia membutuhkan waktu satu setengah tahun perawatan untuk dapat
dikatakan sembuh, walau harus tetap menggunakan alat bantu kursi roda. Tentang
kelanjutan kuliahnya di UI Sinta pernah meminta pihak kampus agar memberikan
kelonggaran dengan menyediakan ruang kuliah khusus baginya, yang dapat
dijangkau kursi roda seperti di lantai bawah. Namun permintaan itu tak dapat
dipenenuhi dan Sinta harus kuliah di lantai empat.
Maka ketika sudah semester empat Sinta yang bertekad menyelesaikan kuliah
dengan rendah hati sadar, ialah yang membutuhkan belajar bukan pihak kampus.
Iapun bersedia kuliah di lantai empat. Tapi apa mau dikata lift kampus kemudian
rusak. Tapi Sinta tak mau kehilangan akal. Ia kemudian memasuki ruang kuliah
layaknya Jenderal Sudirman saat berjuang melawan penjajah, yakni digotong di
atas tandu dinaik-turunkan dari bawah ke lantai empat dan sebaliknya. Kejadian
seperti itu berlangsung satu semester penuh menunggu hingga liftnya selesai
diperbaiki.
Bersuamikan Pria
Romantis
Sinta sangat sadar ia bersuamikan seorang pria yang sangat kontroversial.
Karena kontroversial itu banyak yang suka dan banyak pula yang tak suka
terhadap suaminya. Gus Dur ketika menjabat Presiden banyak disanjung-sanjung
hingga diberi gelar sebagai “Bapak Bangsa”. Namun serta-merta Sinta menolak
jika disebut pula sebagai “Ibu Negara”. Sinta beralasan, yang namanya “Ibu
Bangsa” tidak selalu harus pasangan dari “Bapak Bangsa”. Sebab bisa saja istri
dari “Bapak Bangsa” kadang-kadang berpendidikan rendah sehingga tidak layak
disebut “Ibu Bangsa”.
Walau menolak disebut “Ibu Bangsa” Sinta Nuriyah sangatlah berperan besar
menunjang karir dan kesuksesan Gus Dur di kancah politik nasional. Ia
berprinsip sederhana, seorang istri kalau bisa menciptakan ketenangan dalam
rumahtangga berarti suami akan tenang. Jika di luaran Gus Dur banyak memainkan
jurus-jurus ‘silat’ perpolitikan nasional, di rumah Sinta menawarkan tema
pembicaraan keluar dari politik untuk masuk ke hal yang ringan-ringan.
Namun jika Gus Dur yang, kata Sinta ia tergolong pria romantis, itu
memasuki pembicaraan area politik maka Sinta yang menguasai aktif bahasa
Inggris, Arab, dan Perancis tetap mau meladeni dan mampu pula menanggapinya.
Sinta pun menjadi bisa memahami segala kegiatan Gus Dur. Diskusi adalah
cara yang jitu bagi Sinta untuk bisa mengerti tentang Gus Dur. Setiap muncul
ide-ide Gus Dur yang mendapat sorotan luas dari amsyarakat maka Sinta akan
mencoba memahami, atau paling tidak keduanya berdiskusi dulu. Diskusi seolah
telah menjadi ‘menu’ pengganti keromantisan Gus Dur, yang menjadi semakin sibuk
sejak terpilih menjadi Ketua Umum PBNU. Jika Gus Dur ‘sibuk’ sendiri maka Sinta
sebagai ibu yang baik akan tetap telaten mendidik anak-anak dan memelihara
keharmonisan rumahtangga.
Sinta kerapkali memperlakukan Gus Dur sebagai teman yang baik, sebagaimana
pernah ia tuangkan dalam tulisan “Sehari Bersama Abdurrahman Wahid”. Itu,
adalah sebuah artikel reportase hasil ‘investigasi’ Sinta saat mengikuti
keseharian kegiatan Gus Dur kemanapun suaminya pergi. Sinta, selain aktivis
organisasi ternyata pernah pula berprofesi sebagai wartawan, yakni pada tahun
1980-1985 di Majalah “Zaman”. Profesi itu harus berhenti karena majalahnya
ditutup, Sinta lalu sempat bekerja untuk Sybah Asa (Tempo).
Hidup diijinkan Sinta mengalir begitu saja tanpa harus dipersiapkan menjadi
ini atau menjadi itu. What ever wil be, will be, kata Sinta. Prinsip what ever
will be semakin ketika ia ‘harus’ menjadi “First Lady” Indonesia, sesuatu yang
sesungguhnya tidak pernah ada dalam kamus dan skenario hidup Sinta. Maka itu
ketika Gus Dur diminta mundur tahun 2001 Sinta dan keluarga tak perlu berkecil
hati. Ia malah menganjurkan Gus Dur agar secepatnya saja mundur. Ia dan
anak-anak tak harus shock atau down, karena sejak sebelum menjadi Presiden pun
mereka sudah terbiasa akan kontroversialitas Gus Dur.
Apalagi, Gus Dur yang diminta menjadi Presiden maka ketika diminta tidak
lagi menjadi Presiden pun menjadi tidak apa-apa pula. Sinta sudah menyerahkan
hidup secara total ke dalam perlindungan Tuhan. Maka tak heran jika Sinta yang
gemar membaca, sehingga kerapkali dikirimi buku ‘silat asli’ dari Cina oleh
Gusdur sampai kecanduan, itu sesekali masih mau turun ke jalan berdemonstrasi
sebagaimana kebiasaannya saat menentang pemerintahan Soeharto.
Sinta sangat percaya akan suaminya. Karena itulah isu perselingkuhan yang
dituduhkan pada Gus Dur yang disertai dengan bukti-bukti otentik segala, itu
tak membuat Sinta goyah. Ia tetap percaya, memahami, hingga mengagumi suami.
Sebagai tokoh kontroverisial Sinta paham banyak yang ingin menjatuhkan
suaminya.
Salah satunya menggunakan perempuan, untuk mengusung isu perselingkuhan
yang ternyata tidak terbukti kebenarannya. Tanpa selingkuh pun, kata Sinta,
sudah banyak orang yang menawari suaminya kawin lagi. Orang itu sekaligus
menyodorkan anaknya segala, atau siapanya kepada Gus Dur sebab katanya untuk
ngalap berkah.
Baca Juga :
0 komentar:
Posting Komentar